Minggu, 18 Desember 2011

Mengenal Karawitan Sunda


Raden Machjar Angga Koesoemadinata
Raden Machjar Angga Koesoemadinata (sering ditulis Kusumadinata, Kusumahdinata, kusumah dinata, Anggakusumadinata; lebih dikenal dengan Pak Machjar atau Pak Mahyar; lahir di Sumedang, Jawa Barat, 7 Desember 1902 – meninggal di Bandung, Jawa Barat, 9 April 1979 pada umur 76 tahun) adalah seorang seniman dan musikolog Sunda. Ia dikenal sebagai pengarang lagu-lagu Sunda, pendidik yang mengkhususkan diri dalam memajukan pendidikan seni-suara Sunda, peneliti serta ahli teori musik Sunda, pecipta sistem notasi nada Sunda da mi na ti la dan penemu sistem 17 tangga nada Sunda.
Biografi
Pak Machjar yang dimasyarakat Jawa Barat lebih dikenal sebagai seorang seniman pencipta lagu-lagu Sunda sebenarnya adalah seorang pendidik dan pakar musikologi, khususnya etnomusikologi yang berspesialisasi dalam pelog dan salendro. Pengetahuannya mengenai seni musik pelog dan salendro didapatkan dari sejak kanak-kanak dengan berguru pada beberapa juru tembang dan nayaga, diantaranya belajar rebab pada nayaga ulung Pak Etjen Basara, Pak Sura dan Pak Natadiredjo, belajar gamelan pada Pak Sai dan Pak Idi, serta belajar tembang pada Pak Oetje juru pantun terkenal di Bandung.
Perkenalan Pak Machjar dengan metoda sains dan ilmu fisika, dan ilmu musik barat terjadi pada waktu ia menjadi murid di sekolah guru (Kweekschool dan Hogere Kweekschool). Dengan dasar ilmu musik barat dan ilmu fisika yang cukup mendalam, ia melakukan pengukuran dan penelitian frekuensi suara-suara dari perangkat gamelan dan lagu-lagu yang dinyanyikan maupun dimainkan pada rebab. Pada tahun 1923 (masih di bangku sekolah) ia telah menciptakan serat kanayagan (notasi tangga nada Sunda) da mi na ti la, serta menulis buku teori seni suara Sunda berjudul ‘Elmuning Kawih Sunda’. Setelah menamatkan HKS dan ditempatkan sebagai guru di HIS Sumedang (1924-1932), ia melanjutkan penelitiannya mengenai teori seni raras.
Suatu titik balik penting dalam kariernya sebagai peneliti adalah pertemuannya dengan Mr. Jaap Kunst, seorang etnomusikologi Belanda, antara tahun 1927-1929, yang sedang melakukan penilitian perbagai seni suara seluruh kepulauan Nusantara. Disini terjadi pertukaran ilmu, antara ilmu musik dari Jaap Kunst dan ilmu gamelan atau pelog-salendro dari Pak Machjar. Pada perioda inilah ia memahami lebih dalam konsep getaran suara serta cara mengukurnya dengan instrumen yang menyangkut konversi matematiknya ke sekala musik dengan menggunakan nilai logaritma, konsep interval cents dari Ellis (1884) dan Hornbostel (1920) serta music rule dari Reiner.
Tahun 1933, ia ditugaskan untuk membentuk pendidikan seni suara pada semua sekola-sekolah pribumi di Jawa barat dengan sistim da mi na ti la. Pada jaman pendudukan Jepang (1942-1945) ia mengajar di sekolah guru kemudian dari tahun 1945 sampai 1947 ia bekerja sebagai guru ilmu alam, sejarah dan bahasa Inggris di (SMP/SMA) Bandung. Setelah itu ia diangkat menjadi kepala dari kantor Pendidikan (koordinator Pendidikan Rendah) di Sumedang (1947-1950) dan selajutnya ditugaskan untuk pendidikan seni-suara pada sekolah-sekolah rendah dan menengah Jawa Barat di Bandung (1950-1952). Selanjutnya ia bekerja staf ahli di Jawatan Kebudayaan Jawa Barat di Bandung. Kemudian pada tahun 1958 (sampai 1959), ia diangkat menjadi Direktur utama Konservatori Karawitan Sunda Bandung. Selebihnya ia adalah dosen luar biasa mengajar ilmu akustik dan gamelan di Konservatori Karawitan Surakarta (1953-1959).
Menikah degan Ibu Saminah salah seorang lulusan pertama sekolah guru wanita Van Deventer di Salatiga. Ia dikarunia 10 orang anak, namun sayang tidak ada yang menggeluti kesenian, tetapi kebanyakan berkecimpung dalam bidang ilmu alam; Machjeu Koesoemadinata (alm), Kama Kusumadinata (alm, ahli volkanologi pada Direktorat Vulkanologi, Departemen Pertambangan), Ny Karlina Sudarsono (alm), dr. Soetedja Koesoemadinata (alm), Prof. Dr. R. Prajatna Koesoemadinata (guru besar emiritus dalam ilmu geologi ITB), Dr. Santosa Koesoemadinata (pensiunan peneliti biologi di Departemen Pertanian), dr. Rarasati Djajakusumah (alm), Prof. Dr. Roekmiati Tjokronegoro, (gurubesar dalam ilmu kimia di Universitas Padjadjaran), Muhamad Sabar Koesoemadinata (ahli Geologi Kwarter pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi), dan Ir. Margana Koesoemadinata (alm, ahli akustik di LIPI dan kemudian di KLH).
Penemuan dan hasil karya
Sebagai seniman pengarang lagu, Pak Machjar menciptakan lagu-lagu Sunda tradisional seperti Lemah Cai, Dewi Sartika, Sinom Puspasari, maupun penggubah lagu-lagu Sunda traditional dan menuliskannya dalam notasi da mi na ti la. Sebagai seniman ia juga seorang penulis sandiwara dan memelopori Gending Karesmen (opera Sunda) yang disebutnya sebagai Rinenggasari dengan karya nya antara lain Sarkam Sarkim (1926), Permana Permana Sari (1930), Sekar Mayang (1935), Tresnawati (1959) dan Iblis Mindo Wahyu (1968).
Sebagai ahli teori musik, khususnya dalam bidang Pelog dan Salendro, ia memformulasikan sistem notasi da mi na ti la untuk lagu-lagu Sunda, meneliti dan menulis teori mengenai seni raras dan gamelan diantaranya Ringkesan Pangawikan Rinengga Swara (1950), Ilmu Seni Raras (1969) dan juga buku lagu-lagu Sunda. Bersama Mr. Jaap Kunst, ia juga banyak banyak menghasilkan tulisan (publikasi) mengenai teori musik gamelan. Diantara hasil penelitian dan penciptaan dari Pak Machyar adalah gamelan eksperimental dengan 9-tangga nada (1937) untuk pelog dan gamelan 10-tangga nada untuk salendro (1938), dimana keduanya hilang pada jaman pendudukan Jepang (1942-45). Selain penciptaan gamelan monumental Ki Pembayun (1969), ia juga membuat gitar akustik 17 tangga nada.
Sumbangan terbesarnya terletak pada hasil penelitian yang benar-benar bersifat ilmiah yang menuju ke universalitas (unified theory) dari seni suara adalah teori 17 tangga nada Sunda (1950) dimana satu oktaf terdiri dari 17 interval yang sama dari 70 10/17 cents, dimana nada dari setiap laras (tangga nada) Sunda dapat diambil. Model ini bersifat universal karena memiliki nada-nada yang sangat lengkap dan bisa dimainkan untuk mengiringi lagu-lagu dari berbagai tangga nada.
Didalam penelitiannya, ia menggunakan alat pengukur getaran suara monochord yang dibuatnya atas pertolongan ahli kecapi dan nayaga ulung Pak Idi. Alat ini dilengkapi dengan sekala getaran (frekuensi) yang diperoleh atas jasa baik Mr. Jaap Kunst dari laboratorium musikologi di Europa. Setiap kali monochord itu hendak digunakannya terlebih dahulu mengkalibrasikannya dengan garpu suara dengan getaran yang baku (660 hz). Alat itu ternyata cukup akurat sehingga juga dipergunakan oleh pakar-pakar musikologi seperti Prof. Collin McPhee dari Amerika Serikat dan C. Campagne, direktur sekolah musik di Bandung. Alat monochord in merupakan alat utamanya yang menyertainya ke mana-mana dalam melakukan penelitian mengenai Pelog Salendro sampai akhir hayatnya.
Ki Pembayun
Atas prakarsa dan bantuan dari Industri Pariwisata P.D. Provinsi Jawa Barat, yang diketuai oleh R.A. Sjukur Dharma Kesuma, pada tahun 1969 pak Machjar menciptakan gamelan yang diberi nama ‘Ki Pembayun’ (artinya si sulung) yang merupakan gamelan terbesar yang pernah ada di Indonesia. Gamelan ini dibuat untuk menunjukan penemuan teorinya sistem 17 tangga nada. Selain Laras Salendro, madenda, degung, kobongan Mataraman, lagu-lagu yang bertangga nada musik Barat dapat dimainkan pada gamelan ini.
Walaupun gamelan Ki Pembayun secara teknik sukar dimainkannya karena merupakan sesuatu yang tidak umum dan membutuhkan waktu lama untuk pelatihannya, namun sebagai bahan kajian, keberadaannya sangat penting. Tidak sedikit para pemikir dari negara lain kagum atas munculnya gamelan tersebut. Menurut ahli etnomusokologi Andrew Weintraub (2001), munculnya gamelan selap yang berkembang sekarang, pada dasarnya merupakan pengaruh dari gamelan Ki Pembayun. Sangat disayangkan sekali gamelan Ki Pembayun kemudian hilang raib. Satu-satunya jejak yang tertinggal mungkin hanya dari permainan gamelan ini yang sempat direkam dan difoto oleh Dr. Margaret Kartomi, profesor musik dari Monash University, Australia.
Penghargaan
Diantara penghargaan-penghargaan yang didapatkannya, adalah penghargaan tertinggi dalam bidang budaya; Piagam Anugrah Seni, sebagai ahli dan penyusun teori Karawitan Sunda dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (17 Agustus 1969), penghargaan Sebagai pencipta lagu rampak sekar Ibu Dewi Sartika (4 Desember 1975), dan penghargaan dari Ikatan Seniman Sunda (9 Mei 1959).
Rujukan
  • Ajip Rosidi (ed), 2000, Mahjar Angga Kusumadinata: Ensiklopdi Sunda - Alam, Manusia dan Budaya (termasuk budaya Cirebon dan Betawi), Pustaka Jaya, Jakarta, hal, 390
  • Ellis, Alexander J., 1885, On the musical scales of various nations: Journal of the Soc. of Arts, p. 487
  • Heri Herdini, 2002, Raden Machjar Angga Koesoemadinata Pikiran Aktivitas Dan Karya, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 271 hal.
  • Heri Herdini, 2002, Raden Machyar Angga Koesoemadinata, Sosok Manusia Ideal. Pikiran Rakyat, kolom khasanah
  • Heri Herdini, 2002 Gamelan Ki Pembayun, Bukti Sejarah yang Hilang Tanpa Jejak. Pikiran Rakyat, kolom khasanah
  • Hood, Mantle, 1954, Patet in Javanese Music, J.B Wolters-Groningen-Djakarta, 323p.
  • Hornborstel, Erich M. von, 1921, Eine tafel zur Logarithmischen Darstelung von Zahlenverhaltnissen; Z. f. Physik, VI, p.29
  • Koesoemadinata, R.M.A, 1940, Ringkesan Elmoening Kanajagan, Tjitakan ka-1, Departement O. & E.,Weltevreden
  • Kunst, Jaap en R.M. A Koesoemadinata, 1930, Een en ander over Pelog en Salendro; Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde, LXIX (1929-30), p.320-352,
  • Kunst, Jaap, 1934, De toonkunst van Java, Deel I en Deel II, Gravenshage, Martinus Nijhoff, 519p.
  • Kusumadinata, R.M.A, 1950, Ringkesan Pangawikan Rinenggaswara (Ringkesan elmuning kanajagan), Pelog 9 raras, Salendro 15 raras dan Salendro 17 raras, Noordhoff Kolf NV, Djakarta
  • Kusumadinata (Koesoemadinata), R.M.A, 1969, Ilmu Seni Raras; Pradnja Paramita, Djakarta, 139p.
  • Priadi Dwi Hardjito, 1983, Etnomusikologi Filsafat Nada, ASTI
  • Sutardjo A. Wiramiharja, 2009, Ngadegung Ku Gitar, Kenapa Tidak?, Pikiran Rakyat (Sabtu 18 Juli 2009).
  • Weintraub, Andrew N., 2001, Instruments of Power: Sundanese “Multi-Laras” Gamelan in New Order Indonesia, Ethnomusicology vol. 45, No 2society for Ethnomusicology, Publish University of Illinois Press, page 197-227.
  • Weintraub, Andrew N., 2001, Koesoemadinata, Raden Machjar Angga, The New grove Dictinioary of Music and Musicians, 2 nd ed, edited by Stanley Sadie, Volume 13, Grove, Page 735-736.
  • Weintraub, Andrew, N. 2004, Power Plays: Wayang Golek Puppet Theater of West Java, (page 134), Ohio University Press,, 320 pages.












Calung
Calung adalah alat musik Sunda yang merupakan prototipe (purwarupa) dari angklung. Berbeda dengan angklung yang dimainkan dengan cara digoyangkan, cara menabuh calung adalah dengan memukul batang (wilahan, bilah) dari ruas-ruas (tabung bambu) yang tersusun menurut titi laras (tangga nada) pentatonik (da-mi-na-ti-la). Jenis bambu untuk pembuatan calung kebanyakan dari awi wulung (bambu hitam), namun ada pula yang dibuat dari awi temen (bambu yang berwarna putih).
Pengertian calung selain sebagai alat musik juga melekat dengan sebutan seni pertunjukan. Ada dua bentuk calung Sunda yang dikenal, yakni calung rantay dan calung jinjing.
Calung Rantay
Calung rantay bilah tabungnya dideretkan dengan tali kulit waru (lulub) dari yang terbesar sampai yang terkecil, jumlahnya 7 wilahan (7 ruas bambu) atau lebih. Komposisi alatnya ada yang satu deretan dan ada juga yang dua deretan (calung indung dan calung anak/calung rincik). Cara memainkan calung rantay dipukul dengan dua tangan sambil duduk bersilah, biasanya calung tersebut diikat di pohon atau bilik rumah (calung rantay Banjaran-Bandung), ada juga yang dibuat ancak "dudukan" khusus dari bambu/kayu, misalnya calung tarawangsa di Cibalong dan Cipatujah, Tasikmalaya, calung rantay di Banjaran dan Kanekes/Baduy.
Calung Jinjing
Adapun calung jinjing berbentuk deretan bambu bernada yang disatukan dengan sebilah kecil bambu (paniir). Calung jinjing terdiri atas empat atau lima buah, seperti calung kingking (terdiri dari 12 tabung bambu), calung panepas (5 /3 dan 2 tabung bambu), calung jongjrong(5 /3 dan 2 tabung bambu), dan calung gonggong (2 tabung bambu). Kelengkapan calung dalam perkembangannya dewasa ini ada yang hanya menggunakan calung kingking satu buah, panempas dua buah dan calung gonggong satu buah, tanpa menggunakan calung jongjrong Cara memainkannya dipukul dengan tangan kanan memakai pemukul, dan tangan kiri menjinjing/memegang alat musik tersebut. Sedangkan teknik menabuhnya antar lain dimelodi, dikeleter, dikemprang, dikempyung, diraeh, dirincik, dirangkep (diracek), salancar, kotrek dan solorok.
Perkembangan
Jenis calung yang sekarang berkembang dan dikenal secara umum yaitu calung jinjing. Calung jinjing adalah jenis alat musik yang sudah lama dikenal oleh masyarakat Sunda, misalnya pada masyarakat Sunda di daerah Sindang Heula - Brebes, Jawa tengah, dan bisa jadi merupakan pengembangan dari bentuk calung rantay. Namun di Jawa Barat, bentuk kesenian ini dirintis popularitasnya ketika para mahasiswa Universitas Padjadjaran (UNPAD) yang tergabung dalam Departemen Kesenian Dewan Mahasiswa (Lembaga kesenian UNPAD) mengembangkan bentuk calung ini melalui kreativitasnya pada tahun 1961. Menurut salah seorang perintisnya, Ekik Barkah, bahwa pengkemasan calung jinjing dengan pertunjukannya diilhami oleh bentuk permainan pada pertunjukan reog yang memadukan unsur tabuh, gerak dan lagu dipadukan. Kemudian pada tahun 1963 bentuk permainan dan tabuh calung lebih dikembangkan lagi oleh kawan-kawan dari Studiklub Teater Bandung (STB; Koswara Sumaamijaya dkk), dan antara tahun 1964 - 1965 calung lebih dimasyarakatkan lagi oleh kawan-kawan di UNPAD sebagai seni pertunjukan yang bersifat hiburan dan informasi (penyuluhan (Oman Suparman, Ia Ruchiyat, Eppi K., Enip Sukanda, Edi, Zahir, dan kawan-kawan), dan grup calung SMAN 4 Bandung (Abdurohman dkk). Selanjutnya bermunculan grup-grup calung di masyarakat Bandung, misalnya Layung Sari, Ria Buana, dan Glamor (1970) dan lain-lain, hingga dewasa ini bermunculan nama-nama idola pemain calung antara lain Tajudin Nirwan, Odo, Uko Hendarto, Adang Cengos, dan Hendarso.
Perkembangan kesenian calung begitu pesat di Jawa Barat, hingga ada penambahan beberapa alat musik dalam calung, misalnya kosrek, kacapi, piul (biola) dan bahkan ada yang melengkapi dengan keyboard dan gitar. Unsur vokal menjadi sangat dominan, sehingga banyak bermunculan vokalis calung terkenal, seperti Adang Cengos, dan Hendarso.
















Degung
Degung adalah kumpulan alat musik dari sunda.
Ada dua pengertian tentang istilah degung:
Degung sebagai unit gamelan dan degung sebagai laras memang sangat lain. Dalam teori tersebut, laras degung terdiri dari degung dwiswara (tumbuk: (mi) 2 – (la) 5) dan degung triswara: 1 (da), 3 (na), dan 4 (ti).
Gamelan Degung
Ada beberapa gamelan yang pernah ada dan terus berkembang di Jawa Barat, antara lain Gamelan Salendro, Pelog dan Degung. Gamelan salendro biasa digunakan untuk mengiringi pertunjukan wayang, tari, kliningan, jaipongan dan lain-lain. Gamelan pelog fungsinya hampir sama dengan gamelan salendro, hanya kurang begitu berkembang dan kurang akrab di masyaraka dan jarang dimiliki oleh grup-grup kesenian di masyarakat. Hal ini menandakan cukup terwakilinya seperangkat gamelan dengan keberadaan gamelan salendro, sementara gamelan degung dirasakan cukup mewakili kekhasan masyarakat Jawa Barat. Gamelan lainnya adalah gamelan Ajeng berlaras salendro yang masih terdapat di kabupaten Bogor, dan gamelan Renteng yang ada di beberapa tempat, salah satunya di Batu Karut, Cikalong kabupaten Bandung. Melihat bentuk dan interval gamelan renteng, ada pendapat bahwa kemungkinan besar gamelan degung yang sekarang berkembang, berorientasi pada gamelan Renteng.
Ada gamelan yang sudah lama terlupakan yaitu KOROMONG yang ada di Kp. Lamajang Desa Lamajang Kec. Pangalengan Kab. Bandung. Gamelan ini sudah tidak dimainkan sejak kira-kira 35 - 40 tahun dan sudah tidak ada yang sanggup untuk menabuhnya karena gamelan KOROMONG ini dianggap mempunyai nilai mistis. Gamelan KOROMONG ini sekarang masih ada dan terpelihara dengan baik. Untuk supaya gamelan KOROMONG ini dapat ditabuh, maka kata yang memegang dan merawat gamelan tersebut harus dibuat Duplikatnya.
Sejarah
Degung merupakan salah satu gamelan khas dan asli hasil kreativitas masyarakat Sunda. Gamelan yang kini jumlahnya telah berkembang dengan pesat, diperkirakan awal perkembangannya sekitar akhir abad ke-18/awal abad ke-19. Jaap Kunst yang mendata gamelan di seluruh Pulau Jawa dalam bukunya Toonkunst van Java (1934) mencatat bahwa degung terdapat di Bandung (5 perangkat), Sumedang (3 perangkat), Cianjur (1 perangkat), Ciamis (1 perangkat), Kasepuhan (1 perangkat), Kanoman (1 perangkat), Darmaraja (1 perangkat), Banjar (1 perangkat), dan Singaparna (1 perangkat).
Masyarakat Sunda dengan latar belakang kerajaan yang terletak di hulu sungai, kerajaan Galuh misalnya, memiliki pengaruh tersendiri terhadap kesenian degung, terutama lagu-lagunya yang yang banyak diwarnai kondisi sungai, di antaranya lagu Manintin, Galatik Manggut, Kintel Buluk, dan Sang Bango. Kebiasaan marak lauk masyarakat Sunda selalu diringi dengan gamelan renteng dan berkembang ke gamelan degung.
Dugaan-dugaan masyarakat Sunda yang mengatakan bahwa degung merupakan musik kerajaan atau kadaleman dihubungkan pula dengan kirata basa, yaitu bahwa kata “degung” berasal dari kata "ngadeg" (berdiri) dan “agung” (megah) atau “pangagung” (menak; bangsawan), yang mengandung pengertian bahwa kesenian ini digunakan bagi kemegahan (keagungan) martabat bangsawan. E. Sutisna, salah seorang nayaga Degung Parahyangan, menghubungkan kata “degung” dikarenakan gamelan ini dulu hanya dimiliki oleh para pangagung (bupati). Dalam literatur istilah “degung” pertama kali muncul tahun 1879, yaitu dalam kamus susunan H.J. Oosting. Kata "De gong" (gamelan, bahasa Belanda) dalam kamus ini mengandung pengertian “penclon-penclon yang digantung”.
Gamelan yang usianya cukup tua selain yang ada di keraton Kasepuhan (gamelan Dengung) adalah gamelan degung Pangasih di Museum Prabu Geusan Ulun, Sumedang. Gamelan ini merupakan peninggalan Pangeran Kusumadinata (Pangeran Kornel), bupati Sumedang (17911828).
Perkembangan
Dulu gamelan degung hanya ditabuh secara gendingan (instrumental). Bupati Cianjur RT. Wiranatakusumah V (19121920) melarang degung memakai nyanyian (vokal) karena membuat suasana kurang serius (rucah). Ketika bupati ini tahun 1920 pindah menjadi bupati Bandung, maka perangkat gamelan degung di pendopo Cianjur juga turut dibawa bersama nayaganya, dipimpin oleh Idi. Sejak itu gamelan degung yang bernama Pamagersari ini menghiasi pendopo Bandung dengan lagu-lagunya.
Melihat dan mendengarkan keindahan degung, salah seorang saudagar Pasar Baru Bandung keturunan Palembang, Anang Thayib, merasa tertarik untuk menggunakannya dalam acara hajatan yang diselenggarakannya. Kebetulan dia sahabat bupati tersebut. Oleh karena itu dia mengajukan permohonan kepada bupati agar diijinkan menggunakan degung dalam hajatannya, dan diijinkannya. Mulai saat itulah degung digunakan dalam hajatan (perhelatan) umum. Permohonan semacam itu semakin banyak, maka bupati memerintahkan supaya membuat gamelan degung lagi, dan terwujud degung baru yang dinamakan Purbasasaka, dipimpin oleh Oyo.
Sebelumnya waditra (instrumen) gamelan degung hanya terdiri atas koromong (bonang) 13 penclon, cempres (saron panjang) 11 wilah, degung (jenglong) 6 penclon, dan goong satu buah. Kemudian penambahan-penambahan waditra terjadi sesuai dengan tantangan dan kebutuhan musikal, misalnya penambahan kendang dan suling oleh bapak Idi. Gamelan degung kabupaten Bandung, bersama kesenian lain digunakan sebagai musik gending karesmen (opera Sunda) kolosal Loetoeng Kasaroeng tanggal 18 Juni 1921 dalam menyambut Cultuurcongres Java Institut. Sebelumnya, tahun 1918 Rd. Soerawidjaja pernah pula membuat gending karesmen dengan musik degung, yang dipentaskan di Medan. Tahun 1926 degung dipakai untuk illustrasi film cerita pertama di Indonesia berjudul Loetoeng Kasaroeng oleh L. Heuveldrop dan G. Kruger produksi Java Film Company, Bandung. Karya lainnya yang menggunakan degung sebagai musiknya adalah gending karesmen Mundinglaya dikusumah oleh M. Idris Sastraprawira dan Rd. Djajaatmadja di Purwakarta tahun 1931.
Setelah Idi meninggal (tahun 1945) degung tersendat perkembangannya. Apalagi setelah itu revolusi fisik banyak mengakibatkan penderitaan masyarakat. Degung dibangkitkan kembali secara serius tahun 1954 oleh Moh. Tarya, Ono Sukarna, dan E. Tjarmedi. Selain menyajikan lagu-lagu yang telah ada, mereka menciptakan pula lagu-lagu baru dengan nuansa lagu-lagu degung sebelumnya. Tahun 1956 degung mulai disiarkan secara tetap di RRI Bandung dengan mendapatkan sambutan yang baik dari masyarakat. Tahun 1956 Enoch Atmadibrata membuat tari Cendrawasih dengan musik degung dengan iringan degung lagu palwa. Bunyi degung lagu Palwa setiap kali terdengar tatkala pembukaan acara warta berita bahasa Sunda, sehingga dapat meresap dan membawa suasana khas Sunda dalam hati masyarakat.
Pengembangan lagu degung dengan vokal dilanjutkan oleh grup Parahyangan pimpinan E. Tjarmedi sekitar tahun 1958. Selanjutnya E. Tjarmedi dan juga Rahmat Sukmasaputra mencoba menggarap degung dengan lagu-lagu alit (sawiletan) dari patokan lagu gamelan salendro pelog. Rahmat Sukmasaputra juga merupakan seorang tokoh yang memelopori degung dengan nayaga wanita. Selain itu, seperti dikemukakan Enoch Atmadibrata, degung wanita dipelopori oleh para anggota Damas (Daya Mahasiswa Sunda) sekitar tahun 1957 di bawah asuhan Sukanda Artadinata (menantu Oyo).
Tahun 1962 ada yang mencoba memasukkan waditra angklung ke dalam degung. Tetapi hal ini tidak berkembang. Tahun 1961 RS. Darya Mandalakusuma (kepala siaran Sunda RRI Bandung) melengkapi degung dengan waditra gambang, saron, dan rebab. Kelengkapan ini untuk mendukung gending karesmen Mundinglayadikusumah karya Wahyu Wibisana. Gamelan degung ini dinamakan degung Si Pawit. Degung ini juga digunakan untuk pirigan wayang Pakuan. Dari rekaman-rekaman produksi Lokananta (Surakarta) oleh grup RRI Bandung dan Parahyangan pimpinan E. Tjarmedi dapat didengarkan degung yang menggunakan waditra tambahan ini. Lagu-lagu serta garap tabuhnya banyak mengambil dari gamelan salendro pelog, misalnya lagu Paksi Tuwung, Kembang Kapas, dsb. Pada tahun 1964, Mang Koko membuat gamelan laras degung yang nadanya berorientasi pada gamelan salendro (dwi swara). Bentuk ancak bonanya seperti tapal kuda. Dibanding degung yang ada pada waktu itu, surupannya lebih tinggi. Keberadaan degung ini sebagai realisasi teori R. Machyar. Gamelan laras degung ini pernah dipakai untuk mengiringi gending karesmen Aki Nini Balangantrang (1967) karya Mang Koko dan Wahyu Wibisana.
Tahun 19701980-an semakin banyak yang menggarap degung, misalnya Nano S. dengan grup Gentra Madya (1976), lingkung seni Dewi Pramanik pimpinan Euis Komariah, degung Gapura pimpinan Kustyara, dan degung gaya Ujang Suryana (Pakutandang, Ciparay) yang sangat populer sejak tahun 1980-an dengan ciri permainan sulingnya yang khas. Tak kalah penting adalah Nano S. dengan grup Gentra Madya-nya yang memasukan unsur waditra kacapi dalam degungnya. Nano S. membuat lagu degung dengan kebiasaan membuat intro dan aransemen tersendiri. Beberapa lagu degung karya Nano S. yang direkam dalam kaset sukses di pasaran, di antaranya Panglayungan (1977), Puspita (1978), Naon Lepatna (1980), Tamperan Kaheman (1981), Anjeun (1984) dan Kalangkang yang dinyanyikan oleh Nining Meida dan Barman Syahyana (1986). Lagu Kalangkang ini lebih populer lagi setelah direkam dalam gaya pop Sunda oleh penyanyi Nining Meida dan Adang Cengos sekitar tahun 1987.
Berbeda dengan masa awal (tahun 1950-an) dimana para penyanyi degung berasal dari kalangan penyanyi gamelan salendro pelog (pasinden; ronggeng), para penyanyi degung sekarang (sejak 1970-an) kebanyakan berasal dari kalangan mamaos (tembang Sunda Cianjuran), baik pria maupun wanita. Juru kawih degung yang populer dan berasal dari kalangan mamaos di antaranya Euis Komariah, Ida Widawati, Teti Afienti, Mamah Dasimah, Barman Syahyana, Didin S. Badjuri, Yus Wiradiredja, Tati Saleh dan sebagainya.
Lagu-lagu degung di antaranya: Palwa, Palsiun, Bima Mobos (Sancang), Sang Bango, Kinteul Bueuk, Pajajaran, Catrik, Lalayaran, Jipang Lontang, Sangkuratu, Karang Ulun, Karangmantri, Ladrak, Ujung Laut, Manintin, Beber Layar, Kadewan, Padayungan, dsb. Sedangkan lagu-lagu degung ciptaan baru yang digarap dengan menggunakan pola lagu rerenggongan di antaranya: Samar-samar, Kembang Ligar, Surat Ondangan, Hariring Bandung, Tepang Asih, Kalangkang, Rumaos, Bentang Kuring, dsb.
Perkembangan di luar negeri
Di luar Indonesia pengembangan degung dilakukan oleh perguruan tinggi seni dan beberapa musisi, misalnya Lingkung Seni Pusaka Sunda University of California (Santa Cruz, USA), musisi Lou Harrison (US), dan Rachel Swindell bersama mahasiswa lainnya di London (Inggris), Paraguna (Jepang), serta Evergreen, John Sidal (Kanada). Di Melbourne, Australia, ada sebuah set gamelan degung milik University of Melbourne yang seringkali digunakan oleh sebuah komunitas pencinta musik Sunda untuk latihan dan pementasan di festival-festival.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar